Search

Custom Search
Load - Submit Plus Load - Enter URL :

Catatan-Catatan Cacat

Catatan-Catatan Cacat

Oleh: Hujan

(untuk sahabatku: Dinding itu tak kuasa mengekalkanmu dalam keterasingan)


"Aku tak mau turun,"kata Obem sambil terus mempertegas duduknya.
"Harus, ini sudah ketetapan," ujar Marwan
"Ketetapan macam apa? Ketetapan bahwa setelah turun nanti, aku akan dipisahkan dari si Beudoh?" kata Obem, sambil menyilangkan tangannya di atas dada.

Hening sesaat. Bahkan suara jangkrik dan burung malam benar-benar hening mendengar kedua sahabat itu berdebat.

"Kalau kau turun, turun sajalah, aku tak ikut. Dan sekali-kali lagi jangan kau merayuku untuk turun bersamamu. ini sudah ketetapanku," ketus Obem.

"Kau jangan begitu. Ini bukan mauku. Ini sudah kemauan bersama. Begitu kesepakatan ditandatangani, kita harus turun," kata Marwan.
"Kita? Kau saja. Aku tidak!"
"Iya, kau harus. Kita harus turun bersama-sama,"
"Tidak,"
"Iya, harus…"
"Tidak..."
"Kalau kau tidak.."
"Kenapa? Kau mau tembak aku? Kau bunuh aku?"
"Bukan,"
"Lantas, kalau bukan, kalau aku tak mau turun juga?"
"Ini komando panglima,"
"Betul ini perintah panglima, " bantah Obem. Keduanya jeda sebentar, kemudian Obem kembali memberondong Marwan. "Hei, asal kau tahu, aku masuk hutan dan naik gunung bukan karena panglima,"
"Aku tahu itu,"
"Lantas,kalau kau tahu?"
"Ini hanya.."
"Hanya apa?"

Kedua orang terakhir yang ada di hutan Takengon itu berhenti. Malam sepi. Kian mati. Cuma perenjak yang terus bernyanyi merindukan rembulan yang bersinar 14 hari.

***

"Namaku Obem, aku menjadi yatim sejak berusia sembilan tahun. Dan menjadi piatu tiga tahun kemudian. Dua kakak laki-lakiku tewas dalam sebuah insiden di malam lebaran. Entah apa salah mereka, tiba-tiba sekompi tentara pemerintah membabi buta menembaki mereka. Aku melihat mereka sudah menjadi mayat. Darah segar mengalir dari tubuh keduanya. Dan sepeda peninggalan bapak ringsek tersuruk di sebuah parit, tak jauh dari kedua mayat saudaraku itu terlentang pasrah. Aku masuk hutan, karena dendam berkarat kupendam," lelaki itu berkisah.
"Lantas bagaimana dengan Marwan?" lanjutku. Obem terhenti sejenak. Matanya menerawang. Menembus rimbun hutan belantara, tempat aku bertemu dengan dia. Mataku terus beredar, memasang segenap kesiagaan terhadap AK-47 yang ada di genggamannya.
"Sejak malam itu aku tak lihat dia lagi. Aku sudah lupa," jawab dia sambil menggelengkan kepala.

Aku terus menyidik ke arah lelaki itu. Wajahnya yang hitam legam terus memancarkan kemarahan, entah pada siapa. Bajunya dekil dan terlihat beberapa lubang menganga di beberapa bagian.

Mestinya aku tak perlu bicara dengan orang ini. Sebab perasaanku mengatakan, dia ini pasti gerombolan yang memilih sesat dan hilang di tengah belantara. Mestinya aku bergumul dengannya, berebut senjata, melakukan tindakan paling heroik dan berani dalam hidupku. Lantas meneruskan perjalananku.

"Dan saudara, mau apa di tengah hutan sendirian? Apakah suadara ini mata-mata atau malah tentara?"seolah kaget dengan keberadaanku di tempat itu, tiba-tiba dia mengangkat AK-47 dan membuka kuncinya.
"Sabar, saudara. Saya kan tadi sudah jelaskan. Saya tertinggal rombongan. Saya tersesat," kataku ketakutan. Dia kembali memandangku dengan sorot mata mematikan. Sementara pelan-pelan tangannya menurunkan senjata yang biasa bisa kulihat di dalam film-film buatan asing. "Percayalah, saya bukan mata-mata. Apalagi tentara. Mana ada potongan itu di diri saya," kataku meyakinkan dia. Obem beranjak ke sebuah batang pinus mercusi yang tumbuh besar tak jauh dari tempat pertemuan kami.
"Ini, kita merokok sajalah dulu," kataku mencoba membujuknya. Pelan-pelan dia mengawasiku. Sambil mendekat dia menyodorkan tanganya dan menerima bungkusan rokokku. Diambilnya sebatang lantas menyalalah api dari pemantik yang kusodorkan kepadanya. Kress... lelaki berbaju kamuflase hijau itu kemudian kembali ke bawah mercusi dan menyandarkan tubuhnya.
"Sebenarnya, saya tak sudi bekerja beginian," kataku sambil terus berupaya mengambil hati orang ini yang boleh jadi adalah orang gila, atau memang gerombolan yang gila dan haus darah -seperti kata berita-.
"Hm, lantas, kalau kau tak sudi, kenapa kau mau jauh-jauh masuk ke hutan ini? Kau kan tahu, hutan ini tak pernah benar-benar bersih dari gerilyawan kemerdekaan," ujar dia.
"Mencoba iklas saja. Pertama, saya mencoba ikhlas, menjalankan tugas, kedua, mencoba ikhlas, kalau pun saya mati diterkam harimau, dibegal atau di.... pokoknya saya mencoba saja," kataku sambil berusaha membuka ranselku.
"Hei.. awas... tangan di atas! Jangan bergerak!" bentak dia sambil kembali menodongkan AK-47-nya ke arahku. Segera aku angkat tangan dan berdiri, menghadapnya.
"Maaf Saudara, sa.. saya hanya mau mengambil buku," kataku gelagapan. Degup jantungku berpacu kencang, sekencang kuda Gayo 1) yang berlari di arena pacuan, dengan joki bocah tanpa pelana, naik berbalapan menyisir lintasan yang lumayan menantang. Obem terus mengawasi, seperti elang mengawasi anak ayam yang jauh dari induknya.
"Bolehkah, saudara?" tanyaku sambil pelan-pelan menurunkan tanganku dan berusaha membuka rietslueting ranselku. Obem diam, sambil terus menodongkan si Beudoh, dia memberikan ijin lewat isyarat sepasang matanya yang merah saga.

Dengan segera aku membuka ransel, dan mengeluarkan catatanku. "Inilah," kataku sambil menyodorkannya kepada Obem. Lelaki itu sedikit menurunkan bedilnya, menghisap dalam-dalam rokoknya, kemudian meraih catatanku dengan dengan cepat.

Sekian menit dalam keheningan, dia berdehem. Sambil terus memasang kesiagaan, dia membuka halaman-halaman catatanku, dengan cepat.
"Mau kau apakan catatan-catatan ini?" tanya dia, menutup catatanku.
"Kubakar," kataku.
"Bakar?"
"Iya, itu tak penting. Sebab catatan-catatan hanya kelengkapan prosedural. Di negara ini apa yang dicatat? dan apa yang dilakukan? Benar-benar tak pernah paralel. Catat mencatat hanya pekerjaan penyair yang mabuk minum brandy bersloki-sloki," kataku.
"Sajak kebanggan macam apa, yang bisa kita tulis, bagi orang-orang yang kalah? 2)" kata dia.
"Itulah, maka itu, catatan-catatan ini akan kumusnahkan," kataku.
"Tapi kau sudah berjalan sejauh ini. Menyeberang laut, hanya untuk mencatat hutan kami," kata Obem sambil mengambil duduk di hadapanku.

Tiba-tiba kami kian akrab. Seperti pada ruh yang karib, kami ditakdirkan duduk berhadapan. Dilepasnya si Bedoh, dan mulai menyilangkan kakiknya.

"Aku tak tahu, sampai berapa lama lagi aku berkeyakinan seperti ini: di gunung, sementara aku paham, banyak perubahan sudah terjadi di bawah sana," kata dia. Aku mengangguk.
"Bukan untuk menang atau kalah, aku di sini. Hanya keridhoan ilahi, itu yang kuharapkan. Tegaknya keadilan. Karena itu nafas alam semesta. Aku menuntut keadilan," lanjut Obem. Matanya yang saga berkaca-kaca. Lepas lalu, bulir air menetes di pipinya yang dipenuhi cambang halus.

Mega berarak, menyelubungi mentari. Hingga akhirnya gelap benar-benar membungkus kami. Aku menyalakan api, mengusir gelap dan takutku sendiri. Menghalau kekuatiran dan prasangka buruk atas orang yang kutemui siang tadi. Sedangkan lelaki itu bergegas bertayamum. Sebentar kemudian dia sudah menghadap khaliknya, dengan AK-47 tersandang di bahunya. Dia menghadap Tuhan seperti menghadap orang-orang yang paling dirindukannya.

Sementara dia sembahyang, aku mulai merobek halaman-halaman catatanku. Halaman pertama kurobek lantas kubakar. Maka terbakarlah beberapa catatan mengenai rencana eksplorasi hutan. Halaman kedua kurobek pula, kemudian kubakar dengan api yang mulai menyala di halaman pertama. Maka terbakarlah perihal jumlah lantakan hutan yang membentang di pebukitan barisan. Halaman ketiga begitu pula, kurobek, kubakar. Kemudian lenyaplah mengenai jenis tumbuhan dan statistik tanaman yang tercatat. Halaman empat lima enam dan selanjutnya.... hingga akhirnya sisa-sisa catatanku yang ada di buku, kubakar bersama dengan bukunya. Api menyala, lidahnya menjilat langit mengusir galau dan menghalau risau.

Obem selesai bertafakur di hadapan Tuhannya. Usai salam, dia langsung bangkit dan mencengkram bahuku. "Apa maksudmu?" kata dia sambil mendorong tanganku. Melompatlah catatan yang terbakar, jatuh ke tanah dan membakar beberapa helai daun kering, menyala. Kemudian dengan tangkas lelaki itu mulai memadamkan api dengan injakan kakinya yang tengah tak terbungkus sepatu lars. "kau mau mengundang orang ya?" hardik dia. Aku surut ke belakang. Dia kembali menggeser AK-47 nya hingga di depan dada. Kemudian menodongkannya kepadaku. "Sekali lagi kau bergerak tanpa ijinku, kuhabisi kau,?" gertakknya. Gigiku menggeretak. Jantungku berdetak rentak. "Maaf, aku cuma mau menerangi hutan ini," kataku ketakutan.
"Duduk!" perintah dia. Aku langsung duduk. tunduk pada perintahnya. "Jangan sekali-kali menyalakan api di hutan rapuh ini. Atau kalau kau mau terlihat orang," dia mengingatkan.
"Saya hanya ingin menghapus kegelapan,"kataku memberikan keterangan.
Dia duduk di depanku. samar kulihat wajahnya.
"Kalau hanya mengusir kegelapan, sebentar juga, taburan bintang akan mengantarmu pada ketenangan jiwa, dan kau akan betah di sini," ujar dia. Suara serangga malam mengusir suram.

"Aku tak sekadar mengusir kegelapan, aku mau membakar catatan-atatan yang mengingatkan aku pada pekerjaanku yang lalu," kataku. Lelaki itu mendengarkan kisahku dengan penuh khidmat. Sesekali kulihat tatapan matanya yang tajam, terasa hampa memandangku.

***

"Kau harus turun. Ikut perintah panglima," kata Marwan.
"Tidak mau. Aku mau di sini," jawab Obem dengan sengit.
"Iskandar Zulkarnaen, kubilang, kau harus pulang,"
"Tidak sekali pun kulangkahkan kakiku turun ke lembah itu. Kalau kau pergi, biar aku mati sendiri. Biar aku mati dalam perjuangan hakiki."
"Hakiki macam apa yang kau maksud?"
"Mati dalam perang,"
"Obem, mati dalam perang adalah mimpi setiap serdadu. Seperti hikayat perang sabil yang selalu dikisahkan Tengku. Aku pun mau mati dalam perang. Tapi waktu sudah berubah. Dan sekarang, cita-ita perdamaian sudah di depan mata. Bukankah itu, perjuangan yang hakiki? Perang tak melulu membicarakan soal hidup dan mati, kawan," kata Marwan, lelaki itu mengangkat ransel dan menyandangkan senjatanya. "Aku mau pulang, membangun kampungku dan mengubur jauh-jauh catatan kelam hidupku," kata Marwan beranjak dan pergi meninggalkan Obem. "Dendam kukubur, bersama perang yang sudah kukunya, kulapah. Aku melawan, kau mau ikut kawan?" kata Marwan. Obem bergeming. tak digesernya posisi berdirinya.

***

"Sebenarnya, aku rindu kampungku. Aku rindu suasana lebaran dan tidur di meunasah saat menanti shubuh," dia mulai berkisah lagi. aku geser dudukku.
"Ada juga pikiranku. Belakangan ini, rasanya aku kesepian dan merasa ketakutan,"
"Apa yang saudara takutkan itu?" tanyaku.
"Tipuan. Aku takut semua temanku di bawah sana tertipu dengan perundingan yang dimaksud Marwan,"
"Kenapa saudara berkata demikian?"
"Sebab, tiga tahun sudah, Marwan meninggalkanku, namun tak sekalipun dia atau yang lain datang menemuiku,"kata dia tak bisa menyembunyikan rasa kecewa.

Aku menahan geli, tawaku tertahan di ketakutan malam.
"Saudara, negerimu sudah damai. Begitulah yang ku tahu dari berita. Semua dikelola oleh anak negeri. Mungkin saja, marwa, temanmu itu, atau yang lainnya, tengah sibuk mengurus negerimu. Kampungmu. Mereka terus berjuang. Hingga saking sibuknya berjuang, mereka lupa pada dirimu, yang juga berjuang di sini. Yah, begitulah kira-kira,"hiburku.
"Berjuang? Semua anak negeri mengatur dan mandiri. Hm. Bagaimana lagi berita yang kau dengar itu?" tanya dia.
"Semuanya punya gaya hidup masing-masing. Seperti saudaraku di sini yang punya gaya hidup. Berbaju loreng, bersepatu lars dan memanggul senjata," kataku.
"Bagaimana gaya hidup mereka? Apa mereka memanggul senjata juga?"
"Tidak, berjuang tak melulu memanggul senjata. Dengan catatan, perang pun bisa dimenangkan," kataku. Galak wajah Obem hilang. Ciut terpancar dari wajahnya.
"Dengan catatan, bisa menang perang? Apa mungkin?" ulang dia seolah tak percaya. Aku mengangguk. dia menggaruk kepalanya. Lantas mulai mengutuki diri sendiri. "Si Beudoh, dia ini pun sudah tak bisa memuntahkan pelor. Bagaimana aku bisa bertahan sendirian dengan senjata lapuk dan usang?" ujarnya sambil memandangi AK-47 yang sedang disandangnya.

Aku terperangah. "Senapan rusak? jadi dari tadi aku ditodong dengan senjata rusak? bah.. iklas macam apa yang sedang kucoba? sedang dengan senjata rusak pun aku gentar dan tak iklas melepas selembar nyawa. sial!" batinku. aku memandang dia tajam-tajam.

"Si Bedoh ini rusak?" tanyaku. dia mengangguk. "Benar-benar..." tanyaku meyakinkan. dia memberikan jawaban lewat pandangan mata, lantas menyerahlan mesin pencabut nyawa itu kepadaku.
"Tapi ini kelihatan seperti..."
"Aku merawatnya, seperti aku merawat keyakinanku pada kemerdekaan," kata dia. Aku menelan ludah.
"Bisakah perubahan dibuat dengan hanya berdiri di sini dan memegangi mesin macet?"tanyaku, sambil terus mengelus si Beudoh. Dia menggeleng yakin. Dalam keremangan kulihat wajanhya begitu pasrah dalam marah.
"Tengku punya saran apa?" balas dia.
"Tidak ada" gelengku sambil menyerahkan senjata kepada dia.
"Malam ini aku semakin yakin, dengan perubahan pandanganku sendiri," ujar dia sambil bangkit dan berdiri. "Aku rindu kampungku, aku rindu Marwan, aku rindu kedamaian," kata dia.

"Damai ada di hati, damai ada di sini,”kataku.
"Terserahmu. Aku mau turun," kata dia tiba-tiba membalikkan badannya, kemudian mulai melangkah. Aku bangkit berdiri.
"Saudara, negerimu membutuhkanmu. Mereka merindukan semangatmu. Panggil mereka, kembalikan ruh itu kepada jiwa-jiwa kosong dan udara hampa," kataku menghampirinya dan menyengkram pundaknya.
"Kau tak ikut?" tanya dia, menolehkan wajah ke arahku.
"Aku di sini. Memastikanmu turun," kataku berseloroh. Dia tertawa. Kami pun bertukaran bawaan. Diserahkannya si Beudoh padaku, dan aku menyerahkan ransel kosongku padanya.
"Selamat berjuang," kata dia."Catatlah, apa yang tercatat pada kenangan kisah dan luka,” kata dia dengan wajah berseri. Obem beranjak dan mulai merayap menyusuri hutan. Pelan-pelan,langkahnya hilang ditelan kedalaman hutan.

Aku benci mencatat. Aku tak pernah ikhlas mencatat. Sama seperti aku tak pernah ikhlas untuk mati sendirian, di tengah hutan, di negeri orang.
"Aku melawan, kau mau ikut, kawan?" aku berteriak saja, mengusir ketakutanku sendiri. Namun agaknya hanya pungguk dan serangga malam saja yang mendengarnya.

1) Kuda Gayo terkenal sebagai kuda pembajak sawah di dataran tinggi Aceh Tengah. Namun, oleh penduduk setempat kuda tersebut dijadikan kuda pacuan. Pacuan kuda di Takengon memiliki keunikan. Selain kudanya memang bukan kuda pacuan, joki yang mengendarai kuda tersebut juga tak menggunakan pelana.

2) Lirik puisi Nyanyian Lewino dan Nyanyian Ocol dalam Afrika Yang Resah, karya Okot P’Bitek, dialihbahasa oleh Sapardi Djoko Damono.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered By Blogger | Portal Design By Djabalok Gen © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top